Jumat, 05 November 2010

Sepeninggal Kisah Kita

Sebuah mobil berwarna merah menyala berlogo kuda jingkrak, memasuki sebuah halaman rumah tua yang terlihat tidak begitu terurus. Seorang laki-laki dengan perawakan tinggi dan putih keluar dari mobil tersebut, memandangi halaman rumah tersebut, dari balik kacamata hitamnya.

Selang beberapa menit kemudian, mobil jaguar hitam, juga memasuki halaman rumah tersebut. Si empunya mobil, keluar dan tersenyum ke arah laki-laki berkacamata tersebut. Dia berdiri di samping laki-laki tersebut, dan bersama-sama memandangi rumah di hadapan mereka.

“Udah lama banget ya vin...”

“Ya, 10 tahun lalu yang lalu yo..” ujar laki-laki tersebut sambil melepas kacamata hitamnya.

“Mana ray ?”

Alvin hanya mengangkat bahunya sambil tersenyum.

“Teen..teen..teen..”

“Selalu saja terlambat” celetuk rio.

“Sori bro..” seorang pemuda, yang akrab di panggil ray, nyengir ke arah mereka berdua, dari atas harley davidsonnya.

“Ayo masuk..” ajak alvin sambil merogoh sebuah kunci berwarna keperakan dari kantong celananya. Ray dan rio hanya mengikuti saja, sambil berusaha menyingkirkan rumput-rumput, yang tingginya sudah hampir saingan sama tinggi badan mereka bertiga.

“Klik..” alvin memutar kunci di lobang kunci, dan langsung di sambut oleh debu serta bau tengik, dan sarang laba-laba yang tersebar dimana-mana.

“Seinget gue dulu rumah ini warnanya putih, kenapa jadi coklat gini ?” celoteh ray yang masih berdiri di luar rumah.

“Masih banyak waktu buat ngenang itu ray..” ujar rio sambil menarik ray supaya mengikutinya dan alvin masuk ke dalam rumah tersebut. Terlihat jelas, kain putih masih menutupi sebagian perabot yang tersisa di rumah itu, meski atap-atap rumah tersebut sudah banyak yang hancur terkena rayap, tapi kegagahan dan kemewahan rumah itu masih nampak jelas dari ukiran-ukiran dan walpaper-walpaper yang sedikit banyak telah terkelupas di dinding.

Mereka bertiga tidak bercakap-cakap, tapi sama-sama tahu kemana kaki mereka akan melangkah. Terus berjalan ke arah halaman belakang, sebuah kolam renang, yang terlihat bagus pada masanya, penuh oleh air berwarna coklat dan daun-daun yang berguguran.

Alvin berjongkok di bawah sebuah pohon mangga yang sudah nampak tua, tangannya meraba ukiran yang ada di pohon dan tertutupi oleh lumut.

“Kita gali sekarang ya” alvin menoleh ke arah rio yang menyodorkan sekop ke arahnya, alvin menerima itu, dan mulai menggali. Tidak sampai lima belas menit kemudian, sebuah kaleng bekas coklat, tersembul keluar, ray langsung mengambilnya. Dia menatap ke arah rio dan alvin yang sama-sama mengangguk, lalu diapun mulai membukanya.

-10 tahun lalu-

Suasana haru penuh kesedihan, masih jelas-jelas terasa di rumah tersebut. Semua penghuninya, masih terbenam di antara tangis dan derai air mata masing-masing, tidak ada yang saling bicara, semua hanya terdiam, duduk menatap langit, mencoba mengadu kepada alam, tentang roda kehidupan yang tidak pernah bisa di tebak.

“Ray, enggak mau berhenti sekolah”

Seorang anak yang bertubuh paling kecil di antara empat laki-laki itu, mengeluarkan jeritan hati yang dari tadi di pendamnya.

“Lo enggak usah berhenti sekolah, lo cukup pindah ke sekolah negri yang biasa-biasa aja, begitupun kita semua”

“Entar apa kata temen-temen ray kak rio ! pokoknya ray mau tetep sekolah disana !”

“Ray..”

“Apa kak alvin ?! apa sih hubungannya mama sama papa meninggal, sama ray harus pindah sekolah !” ray berdiri, dia menatap wajah kakak-kakaknya satu persatu.

“Sial !!”

“Bruuk” ray terjatuh ketika badannya di dorong oleh kakaknya yang paling tua, riko. Rio menghampiri ray yang matanya mulai berkaca-kaca. Sementara alvin mengejar kakaknya, hingga ke tempat mereka berempat biasa main, di bawah pohon mangga.

Alvin tidak menghampiri riko, dia hanya mengamati kakaknya itu dari jauh, dia hanya melihat kakaknya sedang duduk bersender di bawah pohon, sambil menulis sesuatu. Alvin tidak ingin mengganggunya, dia tahu kakaknya sedang butuh waktu sendiri, dia tahu beban yang ada di pundak kakaknya cukup berat.

“Sini aja vin” alvin mendekat dan duduk di samping kakaknya itu.

“Kenapa ?”

“Ini..” riko mengulurkan sebuah kunci ke alvin.

“Kunci rumah ?”

“Iya, itu cadangan punya gue, lo yang pegang mulai sekarang, gue kan enggak pegang kunci cadangan lagi” jelas riko tanpa menatap alvin sedikitpun. Alvin hanya mengangguk, ia masukkan kunci itu ke dalam saku celananya.

“Lo masukin apa barusan ke kaleng ?” tanya alvin penasaran.

“Enggak penting. Vin, dengerin gue ya, gue punya rencana, dan gue butuh bantuan lo..” riko mengalihkan pandangannya ke alvin dan dia menatap alvin tajam.

“Apa ?”

“Besok, para renternir itu bakal dateng kesini, dan gue enggak tahu apa yang bakal mereka lakuin sama rumah ini, sama kita, yang jelas kaya yang kemarin malem gue bilang ke elo sama rio, utang papa sama mama itu gede banget. Gue bakal usahain semampu gue untuk nahan mereka, dan elo, elo harus ngelindungin rio sama ray..”

“Caranya ?”

“Saat gue nyuruh lo pergi besok, lo bertiga berarti harus pergi, apapun yang terjadi. Lari sekenceng mungkin, gue udah minta tolong sama pak ahmad untuk nungguin lo bertiga di jalan kecil belakang komplek, jangan pernah nengok ke arah gue, jangan pernah mencoba untuk nolong gue, lo bertiga harus selamat, apapun yang terjadi, setelah itu, biarin pak ahmad yang jelasin rencana selanjutnya..”

Alvin memandangi kakaknya tersebut, nampak keletihan dan keputus asaan di matanya. Tidak ada lagi, sosok riko yang bandel dan galak sama adek-adeknya, tidak ada lagi pancaran semangat di matanya. Alvin berusaha mencerna kata-kata riko, dia tidak begitu paham maksud kakaknya.

“Lo mau ngelakuin apa kak ?”

“Itu urusan gue, tapi janji ke gue, lo bakal ngelakuin semua perintah gue tadi”

“Iya kak, gue janji”

“Ya udah sana, tidur gih lo..” seperti biasa alvin pun menuruti kata-kata riko, ia masuk ke dalam rumahnya yang nampak kosong. Dia masuk ke dalam sebuah kamar, yang isinya hanya tinggal karpet dan beberapa bantal. Terlihat ray sudah tertidur dan rio sedang mengamati gitar kesayangannya.

“Yo..”

“Kak riko ngomong apa ?” tanya rio langsung, jelas sekali ia begitu penasaran. Alvin pun mulai menceritakan semuanya ke rio, adik yang hanya berjarak satu tahun darinya. Rio hanya dapat mengernyitkan dahinya, dibuat bingung akan cerita alvin.

“Gue enggak nyangka keluarga kita akan kaya gini..” desah rio pelan, ia memetik senar gitarnya pelan-pelan takut mengganggu ray. Alvin menerawang, ya, sama halnya seperti rio atau siapapun, ia tidak menyangka keluarganya akan seperti ini.

Riko, alvin, rio dan ray, terlahir sebagai seorang pangeran dari sebuah kerajaan bisnis nomer satu di indonesia. Orang tua mereka, sangat di segani di kalangan pebisnis. Rumah mereka sangat mewah di lengkapi oleh beragam fasilitas yang sangat memadai. Apapun yang mereka inginkan tingal mereka bilang dan akan tersaji di depan mata mereka. Tapi semua kemewahan itu, lenyap dalam sekejap mata. Ketika kedua orang tua mereka tewas dalam sebuah kecelakaan mobil, dan tepat hari ketiga kematian orang tua mereka, mereka berempat harus dihadapkan pada sebuah kenyataan, bahwa selama ini orang tua mereka sedang terlilit utang oleh seorang renternir kelas kakap.

Satu persatu barang-barang di rumah mereka di ambil paksa, mobil-mobil mereka, surat-surat dan investasi-investasi lainnya. Apalah daya seorang anak berumur, 15, 13, 12, dan 10 tahun, kecuali menyerahkan segalanya pada takdir.

“Tidur yo, udah malam..”

“Bentar lagi vin, entah kenapa, gue ngerasa ini malem terakhir gue sama gitar ini. Mungkin kalo besok renternir itu beneran dateng, gitar ini pun bakal dia ambil kali..” alvin memandang lirih rio. Dia tahu rio tidak bisa di pisahkan oleh gitarnya tersebut, tapi apa daya, meski hanya sebuah gitar, pasti para renternir kejam itu tetap tidak peduli.

Akhirnya malam itu, hanya mereka berdua habiskan dalam diam. Menikmati suasana mendung yang menyelimuti hati mereka akhir-akhir ini.

Keesokan harinya.

“PRANG ! BRUKK ! GUBRAK !”

Alvin mengucek-ngucek matanya, terdengar keributan di bawah. Dia melirik ke arah kanannya, terlihat riko sudah tidak ada lagi di tempatnya.

“Rio..ray..bangun...”

“Suara apa itu vin ?” tanya rio yang nyawanya belum terkumpul sepenuhnya.

“Kak alvin, itu apa ? mana kak riko ?’ tanya ray. Alvin hanya menggeleng, tapi ia tahu, pasti rentenir-rentenir itu telah datang ke rumah mereka.

“Ray, dengerin gue ya, apapun nanti yang lo lihat dan terjadi di bawah, lo harus dengerin kata-kata gue, ngerti kan ?” ray mengangguk ke arah alvin.

“Ya udah, sekarang lo berdua ambil jaket lo, sama apapun yang lo berdua bisa bawa, satu barang aja” ray mengambil secarik poto dan memasukkannya ke dalam kantong jaketnya, alvin memeriksa kunci yang masih ada di saku celananya, dan rio melirik penuh harap ke arah gitarnya.

“Bawa aja yo..” ujar alvin sambil menepuk bahu rio. Rio tersenyum, dia mengambil gitarnya itu. Lalu kemudian mereka bertiga keluar kamar dan turun ke lantai satu.

Hati mereka semakin miris dan mencelos melihat kondisi rumah mereka yang semakin tidak karuan, riko sedang di pegang oleh dua orang berbadan besar penuh tatto. Tatapannya sendu melihat ke arah adek-adeknya.

“Aha ! ini dia pangeran-pangeran yang lain !” seorang berperawakan bantet dengan senyum licik menghampiri mereka bertiga yang berdiri mematung di ujung tangga.

“Gitar ya ? siniin gitar lo !!” orang itu menarik gitar rio, dan rio berusaha mempertahankan gitarnya, adegan tarik menarik pun terjadi.

“Lepasin ! lepasin !” ronta rio. Alvin ikut membantu sekuat tenaganya.

“Bug !” alvin memberi orang itu sebuah pukulan telak di wajahnya.

“Rio lari ! ray ayo !” komando alvin.

“Kakak ! tolong...” perawakan ray yang mungil dengan mudah di tangkap oleh salah satu komplotan mereka, alvin langsung berbalik dan membantu ray, sementara rio berusaha membantu riko.

“Lepasin adek gue !”

“Apa lo anak kecil ?!”

“Lepasin adek gue !”

“Kak alvin !” alvin memutar otaknya, dia bukanlah seorang ahli bela diri, dan orang di depannya ini jelas bukan lawan untuknya, tiba-tiba matanya melihat ke arah sebuah baygon. Dengan gerakan cepat, alvin mengambil baygon tersebut dan

“Sruuuttt” alvin menyemprotkan baygon itu tepat ke muka orang tersebut. Dengan keadaan yang seperti itu, alvin langsung menarik ray dan membawanya lari.

“Kak riko..”

“Lari yo lari..”

“Terus lo gimana ?”

“Udah lo lari aja, entar gue nyusul !”

“Rio ayo !!” panggil alvin yang telah berhasil membawa ray lari hingga hampir sampai ke depan pintu rumah mereka. Rio bergantian melihat ke arah riko dan alvin serta ray. Hatinya bimbang.

“Krek..krek...” riko, rio, alvin dan ray menelan ludah, ketika melihat pria bantet tadi mengokang pistolnya dan mengacungkannya lurus ke arah rio.

“SEMUA TETAP DIAM DI TEMPAT, ATAU NYAWANYA AKAN MELAYANG SIA-SIA ! KALIAN BEREMPAT HARUS IKUT SAMA GUE DAN MENGHASILKAN DUIT BUAT GUE !!”

“GUE ENGGAK RELA ADEK-ADEK GUE LO JADIIN ORANG JAHAT MACEM LO !!” raung riko.

“ALVIN DENGERIN GUE ! LAKUIN PERINTAH GUE YANG KEMARIN ! RIO RAY, LO SEMUA HARUS NURUT SAMA ALVIN ! JANGAN PERNAH BALIK KESINI LAGI, JANGAN PERNAH !!” lanjut riko lagi sambil berusaha melepaskan dirinya. Sementara rio tetap diam di tempatnya, karena pistol itu semakin mendekat ke arahnya.

“RIO LARI !!” entah dapat kekuatan darimana, riko berhasil bebas dan mendorong rio. Rio langsung berlari, mengikuti alvin dan ray. Mereka bertiga terus berlari keluar rumah.

“DOR !!”

“Jangan noleh ! tetep lari ! ini perintah kak riko !” ujar alvin masih terus berlari, rio dan ray nurut, mereka bertiga terus berlari mengikuti alvin. Hingga sampailah mereka di jalan kecil sesuai intruksi riko, pak ahmad, supir mereka dulu, sudah setia menunggu mereka disitu dengan sebuah angkot.

“Ayo den, semuanya naik, kita harus pergi sekarang” alvin duduk di depan bersama pak ahmad sementara rio dan ray di belakang. Rio terus menggenggam tangan ray yang terasa dingin, dia sendiri berusaha menepis perasaan takutnya akan suara tembakan tadi dan kondisi kakaknya.

Tidak jauh berbeda, alvin pun berusaha menenangkan hatinya, berusaha positive thinking sama apa yang terjadi beberapa menit yang lalu.

“Pak ahmad mau bawa kita kemana ?” laki-laki tua yang hampir seluruh rambutnya telah berwarna putih itu, menyodorkan sebuah amplop coklat ke alvin. Perlahan, alvin mulai membukanya, dan membacanya satu persatu.

“Itu apa vin ?” tanya rio dari kursi belakang.

“Ini semua rencana kak riko pak ?’ bukannya menjawab pertanyaan rio, alvin malah kembali bertanya ke pak ahmad.

“Iya, waktu saya dateng ke tujuh hariannya nyonya sama tuan, den riko ngajak saya ngobrol dan ngasih saya ini, dia yang udah rencanain ini semua, saya tinggal jalanin aja”

“Emang itu apa kak ?” tanya ray ikut penasaran.

“Dengerin ya, kak riko udah masukin gue ke sebuah sekolah sepak bola, dan kak riko masukin lo berdua ke sekolah musik. Ini semua beasiswa, gue bakal pisah dari kalian, gue bakal masuk asrama dan begitupun kalian, janji sama gue, jangan kecewain kak riko, jangan kecewain papa sama mama..” terang alvin sesingkat mungkin sambil memberikan amplop coklat itu ke rio untuk dibacanya sendiri.

“Jadi kita enggak akan pulang ke rumah lagi ?” tanya ray pelan.

“Enggak ray..” jawab rio lirih.

“Sampai kapan kak ?”

“Sepuluh tahun lagi” ujar alvin mantap, sambil berusaha tersenyum.

-saat ini-

Tidak ada yang begitu istimewa di dalam kotak tersebut, hanya ada beberapa lembar kertas di dalamnya. Alvin langsung mengambil lembar kertas yang paling atas.

“Ini tulisan kak riko malem itu..” ujar alvin sambil membuka kertas yang telah berwarna kuning kecoklatan tersebut. Mereka bertiga merapatkan kepala masing-masing, mulai membaca kertas tersebut.

Gue ini baru 15 tahun, baru ngerasain senengnya jadi anak sma, baru ngerasain indahnya punya gebetan. Tiba-tiba dunia gue bagai kapal yang karam, tenggelam perlahan. Kenapa gue harus terlahir jadi anak pertama ? kenapa harus gue yang nanggung semua beban ini ? kenapa ?! orang tua gue meninggal dengan ninggalin utang yang bertumpuk dan gue masih punya tanggungan tiga orang adek, satu-satunya jalan yang terpikir di otak gue adalah mati bareng-bareng sama adek-adek gue !

Tapi kemudian gue sadar, adek-adek gue terlalu spesial untuk mati muda. Mereka berbakat, alvin yang jago mengolah bola pakai kakinya, rio yang udah jodoh sama gitar dan ray yang cinta mati sama drum. Gue enggak boleh nyia-nyiain itu, itu sebabnya gue ajuin mereka bertiga untuk dapet beasiswa, dan untung masih ada segelintir orang baik yang mau bantuin gue.

Apa tulisan gue ini, terasa kaya surat wasiat ? haha. Ya mungkin emang gitu. Besok renternir keparat itu akan datang lagi ke sini, dan gue enggak punya apa-apa untuk bayar mereka. Satu-satunya hal yang gue bisa lakuin adalah, nyelametin adek gue semua dari rumah ini, dan biarin mereka ngeraih impian mereka masing-masing, sementara gue, tinggal nunggu vonis Tuhan mau ngasih gue jalan hidup kaya apa.

Gue emang marah sama takdir dan keadaan, tapi seenggaknya sekali ini, gue harap Tuhan mau ngasih jalan yang indah buat adek-adek gue.

Isi surat itu membuat mata mereka berkaca-kaca semua, mereka tidak peduli dengan kondisi mereka saat ini. Alvin melipat kertas itu, dan memasukkannya lagi ke dalam kaleng, kaleng curhat mereka. Tangannya kembali meraba ke pohon, membersihkan lumut-lumut, dan ukiran yang familiar terlihat disana.

Riko

Alvin

Rio

Ray

Rio menepuk-nepuk pundak alvin, matanya sendiri merah, ia tidak peduli, sudah lama ia tidak menangis, dan sekarang anggaplah ini semua akumulasi kesedihan dan kerinduannya akan sosok riko. Alvin mengeluarkan sesuatu dari balik blazer yang di kenakannya, terlihat sebuah koran yang sudah lusuh,meski terjaga rapi.

ANAK SEORANG KONGLOMERAT DI TEMUKAN TEWAS TERTEMBAK

Riko anggara, 15 th, ditemukan tewas dengan peluru yang menembus jantungnya di rumahnya kemarin siang. Dia adalah anak dari pengusaha Hariawan, yang beberapa waktu lalu meninggal bersama istrinya dalam sebuah kecelakaan mobil. Sementara, ketiga anak yang lain, alvin, rio dan ray, belum dapat dilacak keberadaannya....

Sepotong koran itu, sengaja alvin simpan. Dia berhasil membeli koran ini, saat mendapat izin keluar dari asramanya. Saat itu ia hanya dapat menangis, tapi setelah itu, ia berjanji, tidak akan pernah menyia-nyiakan pengorbanan riko.

Ray menghapus air mata yang terlanjur mengalir dari matanya. Bayangan kelam saat itu, langsung berkelebat di otaknya, dia masih ingat dengan jelas, saat hari-hari pertamanya di asrama, ia terus menangis di pelukan rio.

Alvin, kini telah berhasil menjadi pemain sepak bola profesional, salah satu yang terhebat di indonesia. Di umurnya yang baru 23 tahun, ia telah menjadi pesepak bola yang sukses, karirnya sangat berkembang di luar negeri, bahkan sekarang ia tengah merumput di tanah inggris, ibukota sepak bola.

Rio, sukses menjadi musisi nomer satu di indonesia dan sedang merintis karirnya untuk go international. Umurnya yang baru 22 tahun, bukan penghalang untuk rio meraih segala prestasi gemilang. Semua karyanya selalu hits dan menduduki posisi nomer satu di seluruh tangga lagu. Saat ini, ia sedang menyiapkan album barunya, di sebuah negara penuh musisi hebat sepanjang jaman, negeri paman sam.

Ray, tidak ada lagi ray yang cengeng dan manja, dia sekarang adalah seorang pemain drum yang sibuk melanglang buana dari satu negara ke negara lain. Namanya terkenal apalagi gebukan drumnya yang penuh semangat, prestasi nasional maupun internasional telah dia raih, meski usianya baru saja menginjak 20 tahun.

“Kak riko, gue udah megang teguh janji gue selama 10 tahun ini, gue udah bawa lari mereka, bahkan bawa lari hidup gue sendiri, hari ini kita semua balik kesini, kita semua mau mulai dari awal lagi” ujar alvin.

“Kak, makasih buat semua pengorbanan lo, buat semua hal yang telah lo lakuin dan bikin hidup kita jadi kaya sekarang ini, semoga lo bisa lihat kita dari atas sana dan tersenyum puas ya..” timpal rio.

“Segala hal yang gue raih sampai hari ini itu semua berkat elo dan buat elo kak, gue enggak akan pernah lupa itu, gue bakal selalu ngenang lo sebagai kakak terhebat yang pernah gue milikin” lanjut ray.

“Jadi kalian setuju kan sama usul gue buat bangun rumah ini lagi ?” tanya alvin.

“Iya dong, entar gue mau ada studio musik..”celetuk rio

“Entar gue mau ada ruangan khusus koleksi drum gue”sambung ray.

Dan rencana-rencana indah terus terlontar dari mulut mereka masing-masing. Mereka telah berdiri tegak sekarang, menatap dunia, membuktikan kepada semua orang tentang kemampuan mereka. Dan yang paling penting, mereka tetap mengenang masa lalu mereka, meski pahit tapi tetaplah sebuah masa lalu yang memberikan pelajaran serta semangat kehidupan. Sepenggal kisah yang paling ingin mereka hindari dalam hidup, tapi juga sepenggal kisah yang telah membuat mereka menjadi bersinar terang seperti sekarang.

TAMAT 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar