Senin, 08 November 2010

Bunda

This FICTIVE story tribute to our lavdly mothers..



BUNDA



(cerpen)





Aku Cakka. Cakka Kawekas Nuraga. Dan ini kisahku...



***



Kubuka album biru..



Penuh debu dan usang..



Ku pandangi semua gambar diri..



Kecil bersih belum ternoda..mso-ascii-theme-font:minor-latin;mso-hansi-theme-font:minor-latin"">





18 Agustus 1998.. Hari itu adalah hari bahagia keluargaku. Betapa tidak?? Seorang bayi kecil terlahir dengan selamat di bumi.



Ya. Aku terlahir sama seperti bayi sewajarnya. Aku tumbuh sebagai anak pada umumnya. Dan aku di asuh oleh keluarga yang sungguh sempurna. Lengkap sudah yang ku sebut kesempurnaan hidup.



Awalnya, aku merasa tak se’sial’ ini. Karena saat aku masih kecil, jelas belum kurasakan derita seperti saat ini. Aku masih bisa berlarian bersama teman-temanku. Dan aku masih bisa tertawa lepas menikmati duniaku.



***



Pikirkupun melayang..



Dahulu penuh kasih..



Teringat semua cerita orang..



Tentang riwayatku..



Ayahku, seorang ayah yang hebat. Tak mengenal letih, selalu ia luangkan waktu bersama keluarga selepas bekerja. Begitupun bunda. Seorang wanita tangguh, yang selalu menghujaniku dengan kasihnya.



Dulu, semua begitu indah. Begitu sempurna. Hingga sesuatu yang buruk benar-benar meluluh-lantakkan segalanya...



Masih aku ingat. Saat bocah berusia 5 tahun dan seorang ayahnya menyanyikan lagu itu di sepanjang perjalanan waktu menjemput bunda. Saat truk kekar itu menghantam keras kendaraan yang membawa kami. Dan saat ayah merengkuhku dalam peluknya untuk menyelamatkanku. Benar. Ayah menyelamatkanku. Menyelamatkan nyawaku, bukan nyawanya. Tapi tidak dengan mataku. Pecahan kaca itu berhasil mengoyak lensaku. Hingga aku harus kehilangan jendela dunia tempatku memandang segalanya...



Derita.. Mungkin terlalu berlebihan aku menyebutnya. Namun itulah yang kurasakan.



Sungguh, aku merindukan masa kecilku. Masa dimana aku masih terwujud sebagai manusia ‘sempurna’. Bukan manusia cacat seperti itu.



Kesempurnaan.. Memang jauh dari apa yang ku harapkan. Begitu cepat Tuhan merenggut itu semua dariku. Menurutku, hidup ini tidak adil. Bagaimana tidak?? Disaat semua orang menari lepas dalam menikmati indahnya dunia, aku hanya bisa terdiam dalam gelap. Terpuruk dalam derita yang menurutku tak berkesudahan ini. Derita saat aku harus kehilangan seorang ayah dan penglihatanku dalam kecelakaan itu.



Entah salah siapa. Namun pemikiranku selalu meng-kambing hitamkan bunda. Mungkin pola pikirku terlalu sempit. Tapi itulah aku. Itulah Cakka. Cakka yang sudah 10 tahun ini melimpahkan amarahnya pada wanita paruh baya, yang selama ini menghidupi dirinya.



Hari itu, hari pertamaku menginjakkan kaki di sebuah bangunan tua di ibu kota. Sekolah Menengah Atas. Begitulah orang-orang menamakannya. Ini pertama kalinya aku berbaur dengan orang-orang ‘normal’ lainnya. Setelah sebelumnya, bunda hanya memasukkanku ke sekolah khusus anak cacat.



“Lo buta Kka??” tanya seorang siswa kepadaku. Aku tak dapat melihat wajahnya. Tapi dapat kurasakan. Kurasakan sakit bertubi-tubi saat tawa lepas mengakhiri pertanyaannya itu.



Tak berhenti disitu, rasanya penderitaan memang terlampau bersahabat padaku. Tak sedikit kawan di sekolah meremehkanku. Membuangku dalam sudut gelap, seolah aku tak mampu melakukan apa yang mereka kerjakan.



“Gue bisa nulis koq!! Gue bisa pake komputer!! Gue bisa bikin makalah itu!!” pekik-ku di depan mereka.



“Ahh udah lah Kka. Ga usah lo paksain. Biar kita aja yang kerjain. Nama lo bakal tetep kita tulis koq.”



Apa rangkaian kata itu terdengar seperti seruan malaikat yang menenangkanku?? Tidak!! Sama sekali tidak!!



Hati ini hancur mendengarnya. Aku memang cacat. Tapi aku tidak bodoh. Mataku memang tak bisa digunakan. Tapi tangan dan bagian tubuhku yang lain bekerja dengan sempurna.



Hanya itu yang bisa ku lakukan. Berteriak sekencang-kencang-nya dalam hati. Karena percuma jika aku harus meneriakkan itu di depan mereka semua. Mereka tak pernah merasakan pahit-nya hidup yang ku rasakan.



***



Kata mereka diriku slalu dimanja..



Kata mereka diriku slalu ditimang..mso-ascii-theme-font:minor-latin;mso-hansi-theme-font:minor-latin"">



“Udah pulang sayang?? Makan dulu yukk..” seperti biasa, bunda selalu menyambutku dengan untaian kasih-nya. Diarahkan telapak tangan lembutnya ke arahku. Diusapnya rambutku dengan segenap rasa sayangnya.



Namun apa yang aku lakukan?? Aku menepis tangannya. Bukan menepis lagi. Mungkin lebih tepat disebut mendorongnya. Hingga tubuh rapuh itu terpelanting tak dapat menahan curahan amarahku.



“Bun!! Kenapa sih Cakka harus buta?? Kenapa waktu itu kami harus jemput bunda?? Kenapa harus ada kecelakaan yang merenggut segalanya?? Cakka cape bun!! Cakka ga kuat lagi menghadapi cerca’an orang-orang!!” rutukan menyakitkan dari bibirku terus menghujani ibuku. Seiring dengan derasnya hujan air mata yang terus mengalir dari mata sendu-nya. Dapat kurasakan itu.



“Sayang, ini semua adalah kuasa Tuhan. Pasti ada rencana indah di balik semua ini.” Kata bunda meyakinkanku.



Aku terus meronta. Semakin bunda menceramahiku, semakin ku lontarkan kata-kata sangkalanku. “bun, bunda ga pernah rasain apa yang Cakka rasain!! Makanya bunda dengan gampang-nya ngomong kaya gitu!! Semua itu bullshit bun!! Bulshit!!” lanjutku masih dengan amarah yang tak terbendung.



Secepat mungkin aku meraba dan melangkahkan kaki menjauh dari-nya. Dari seorang ibu yang masih terus meyakinkan anaknya. Namun, sekali lagi tangan itu menahanku.



“Maafin bunda sayang. Bunda ga pernah menginginkan ini semua. Maafin bunda Cakka.”



“Maaf?? Maaf ga akan mengembalikan penglihatan Cakka bun.. Maaf ga akan mengembalikan ayah..” kataku lirih, namun aku tau bunda dapat mendengarnya. Mendengar kata-kata yang sungguh... kejam untuk terdengar di telinganya.



***



Nada-nada yang indah..



Slalu terurai darinya..



Tangisan nakal dari bibirku..



Takkan jadi deritanya..mso-ascii-theme-font:minor-latin;mso-hansi-theme-font:minor-latin"">



Sebulan sudah aku mencoba bertahan dengan sikap orang-orang di sekolah baruku. Sikap yang benar-benar semakin menghancurkanku. Benar-benar meluluh-lantakkan hidupku. Ya, semakin mereka meremehkanku, semakin aku bersikeras untuk menghancurkan hidupku. Untuk apa aku menjadi orang baik jika mereka selalu memandang sebelah mata kepadaku?? Lagi-lagi muncul pemikiran bodoh itu.



Semua bermula pada hari itu. Hari dimana aku memutuskan untuk membelokkan langkahku. Selalu aku berkedok dengan seragam putih-abu, namun kaki ini tidak pernah merapat ke tempat yang penuh derita itu, sekolahku.



Berbulan-bulan sudah aku bersahabat dengan suatu sudut kota yang liar. Sudut kota yang terus merasukiku dengan ide-ide setan-nya. Entah berapa banyak uang yang telah aku sulap menjadi gulungan tembakau yang terbakar itu. Entah berapa banyak cairan laknat yang aku teguk dan mulai merusak organku. Entah seberapa sering ku biarkan wanita tua itu menantiku di depan rumah, mencemaskanku yang hingga larut belum juga menampakkan dirinya. Dan entah berapa banyak luka yang ku goreskan padanya saat kalimat-kalimat brutalku melawan segala perhatiannya. Ya. Aku sadar aku telah menghancurkan diriku. Bahkan tentu saja menghancurkan bundaku.



Apa kau berfikir bunda akan menelantarkan anak bejat sepertiku?? Aku pun berfikir begitu. Namun tidak dengannya. Tidak dengan malaikat itu. Walau air mata terus mengucur deras membasahi pipinya, walau hati telah porak poranda akibat ulah nakalku, tangan itu selalu membelaiku. Selalu menyentuhku dengan kasih sayang. Meskipun tak pernah ia dapatkan balasan yang layak dariku.



***



Tangan halus dan suci..



Tlah mengangkat diri ini..



Jiwa raga dan seluruh hidup..



Rela dia berikan..mso-ascii-theme-font:minor-latin;mso-hansi-theme-font:minor-latin"">



Mataku buta. Kalian tau itu. Namun apa kalian membayangkan seberapa buta hatiku?? Seberapa besar kabut hitam telah menenggelamkanku dalam sisi gelapnya?? Bahkan akupun tak pernah membayangkan seberapa buruk diriku. Hingga Tuhan pun terpaksa menegurku.



“Cakka, kamu mau kemana nak?? Sudah larut sayang..” ucap bunda padaku.



“Cakka ada urusan bun.” Jawabku tanpa meng-indahkan larangannya.



“sayang, di luar udah gelap. Bunda khawatir kamu kenapa-kenapa.” Lagi, wanita paruh baya itu mencoba menahanku.



“bun, tiap hari idup Cakka juga gelap!! Bunda tau itu kan?? Atau bunda udah lupa punya anak buta??” jawabku seenaknya.



Suara itu. Suara itu sudah tak asing di telingaku. Suara tangisan seorang bunda. Suara jeritan hatinya menghadapi anak sepertiku yang coba ia tutupi dengan air mata.



“ah udah lah bun!! Cakka bosen denger itu semua!!” kataku menambah luka mendalam di hatinya.



Tanpa fikir panjang, aku segera meninggalkannya sebelum ia menahanku lagi. Beberapa langkah aku berjalan, ia belum menahanku.



‘baguslah.’ Fikirku sambil terus melangkah menapaki jalanan depan rumahku.



Apa kalian tau?? Saat itulah Tuhan menunjukkan kuasa-Nya. Sebuah mobil box menggantikan bunda menahanku. Benda itu menghantamku. Membuat tubuhku tersungkur di aspal. Dan membuatku hilang dari sadarku.



Entah berapa lamanya aku berbaring di tempat ini. Berbaring di suatu ruang penuh aroma karbol yang menusuk hidung. Aku masih terpejam. Namun aku tau benar aku ada di rumah sakit.



Perlahan aku membuka mata. Ingin rasanya suatu keajaiban menghampiriku. Keajaiban agar aku bisa melihat lagi setelah mata ini kubuka sepenuhnya. Tapi apa mungkin?? Ah, rasanya mimpiku terlalu tinggi.



Namun, semakin aku membuka mata, semakin banyak cahaya tertangkap lensaku. Tuhan.. apa yang terjadi?? Apa aku bisa melihat?? Masih ku ragukan itu.



Kali ini, mataku sudah kubuka sepenuhnya. Dan apa yang terjadi?? Keajaiban itu benar-benar memihakku. Aku bisa melihat. Aku kembali menatap indahnya dunia.



***



Oh bunda ada dan tiada dirimu..



Kan selalu ada di dalam hatiku..



Aku melangkahkan kakiku. Melangkah menghampiri wanita tangguh yang kini tengah terbaring di ranjang itu. Aku menatapnya. Hanya memandangnya. Ku perhatikan betapa banyak guratan-guratan pada wajah cantiknya yang mulai dimakan usia. Kuperhatikan tubuh rapuhnya yang selama ini dia sembunyikan dengan ketegarannya. Kuperhatikan rambut panjang yang mulai memutih di beberapa sisinya.



Ya Tuhan..



Inikah sosok yang selama ini aku sia-siakan??



Inikan sosok yang selama ini aku hancurkan??



Sungguh bejat-nya diriku..



Terus aku memandangnya. Kubiarkan jari-jari ‘kotor’ ku mengusap rambutnya. Air mataku jatuh. Begitu deras membasahi pipi ini. Mengiringi pikiranku yang melayang dalam segala sesalku...



Bagaimana jika mata sendu itu tidak pernah terbuka lagi??



Bagaimana jika ini adalah tidur panjangnya??



Bagaimana jika ia tak pernah ada lagi di dunia??



Sanggupkan aku hidup tanpanya??



Tuhan..



Beri aku kesempatan..



Beri ia waktu lebih lama lagi agar aku bisa membahagiakannya..



Agar aku bisa menghapus segala deritanya..



Agar aku bisa membalas segala pengorbanannya..



Walaupun aku tau..



Nyawa ini pun takkan pernah mampu membayar smua jasanya..



“Cakka..” suara getir itu membuyarkan lamunanku.



“Bunda.. Ini Cakka bunda..” kataku sambil menggenggam tangan lemahnya.



“Maafin Cakka bunda. Maafin Cakka. Cakka tau Cakka bukan anak yang baik. Cakka anak durhaka. Tapi Cakka mohon Bun, maafin Cakka..” tangisku semakin pecah dalam mohonku.



Wanita itu membuka matanya. Nanar memandang entah kemana. “sayang, tanpa Cakka minta pun, bunda sudah memaafkan kamu.” Ucapnya semakin mengukir penyesalan mendalam pada benakku.



“Terima kasih bunda. Apapun yang Bunda mau, akan Cakka lakukan untuk bunda..” kataku sembari mengecup punggung tangannya yang begitu dingin.



Sungguh, jika bunda harus menamparku, memukulku, bahkan mengusirku, aku rela. Aku siap. Aku siap menerima hukuman apapun dari dirinya.



“Sayang, bunda ga akan minta apapun dari kamu. Hanya satu yang bunda mau. Jadilah anak yang baik, dan jaga mata itu. Jangan buat bunda menyesal telah menitipkan mata bunda padamu.” Pintanya dengan tangan meraba mengusap wajahku.



Ya Tuhan.. Ingin rasanya aku menampar diriku sendiri. Betapa mulia dirinya. Betapa sederhana pintanya.



“Cakka janji bun. Cakka akan jadi anak yang lebih baik. Cakka akan jadi mata hati bunda. Cakka janji..”



Kembali ku genggam tangan itu. Kukecup keningnya yang mulai berkerut karena usia yang telah senja. Lalu kucium kaki itu. Kaki suci seorang ibu, yang semoga saja masih memberiku kesempatan untuk merasakan indahnya Surga..



***



Bunda..



Saat aku terjatuh, tangan itu yang pertama kali menggapaiku..



Saat aku bersedih, lengan itu yang pertama kali merengkuhku..



Saat aku terluka, kata bijaknya selalu mampu menyembuhkanku..



Dan saat aku menangis, ia lah yang menghapus air mataku..



Maaf Bunda..



Terlalu sering aku merepotkanmu..



Terlalu sering aku menyia-nyiakanmu..



Terlampau sering aku menyakitimu..



Terlampau sering aku melawanmu..mso-hansi-theme-font:minor-latin"">



Terima kasih Bunda..



Atas seberapa banyak deritamu demi aku..



Atas seberapa banyak luka di hatimu karena ulah nakalku..



Atas seberapa besar limpahan kasihmu..



Atas seberapa besar pengorbananmu..



We Lavd u Bunda..



‘n will always lavd u until the time stopped my breath..





^ END ^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar